3. Letakkan kode berikut di bawah kode

(lihat gambar 3)

INI YANG ANDA CARI?

Rabu, 13 April 2011

Ekonomi Islam mengenai tentang studi Al-Qur'an


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar belakang
Pemikiran ekonomi islam dimulai sejak Muhammad dipilih menjadi rasul, beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut dengan kemaslahatan umat, selain masalah hukum dan politik, tetapi juga masalah ekonomi atau perniagaan-muamalat. Masalah ekonomi rakyat menjadi perhatidan Rasulullah karena masalah itu merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan. Hal ini terbukti dengan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah bersabda yang artinya: “Kemiskinan membawa kepada kekafiran.” Maka upaya memberantas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan Rasulullah SAW. Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah menjadi pedoman oleh penggantinya yaitu Khulafa al Rasyidin dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi. Al-Qur’an dan hadits menjadi sumber dasar sebagai teori ekonomi.
Kehadiran ekonomi Islam telah memunculkan harapan baru bagi banyak orang, khususnya bagi umat Islam akan sebuah sistem ekonomi alternatif dari sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme sebagai arus utama perdebatan sebuah sistem ekonomi dunia, terutama sejak usainya Perang Dunia II yang memunculkan banyak negara-negara Islam bekas jajahan imperialis. Dalam hal ini, keberadaan ekonomi Islam sebagai sebuah model ekonomi alternatif memungkinkan bagi banyak pihak, muslim maupun non-muslim untuk melakukan banyak penggalian kembali berbagai ajaran Islam, khususnya yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan antarmanusia melalui aktivitas perekonomian maupun aktivitas lainnya.
Meskipun begitu, sistem ekonomi dunia saat ini masih dikendalikan oleh sistem ekonomi kapitalisme, karena umat Islam sendiri masih terpecah dalam hal bentuk implementasi ekonomi Islam di masing-masing negara. Kenyataan ini oleh sebagian pemikir ekonomi Islam masih diterima dengan kelapangan karena ekonomi Islam secara implementasinya di masa kini relatif masih baru, masih perlu banyak sosialisasi dan pengarahan serta pengajaran kembali umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonominya sesuai dengan hukum Islam. Sementara sebagian lainnya menilai bahwa faktor kekuasaan memainkan peran signifikan, karenanya mengkritisi bahwa ekonomi Islam atau ekonomi syariah belum akan dapat sesuai dengan syariah jika pemerintahnya sendiri belum menerapkan syariah dalam kebijakan-kebijakanny




















BAB II
PEMBAHASAN EKONOMI ISLAM
A.       Definisi dan Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Sebelum mengetahui arti dari ekonomi Islam, kita mesti tahu terlebih dahulu dengan arti ekonomi. Menurut para ekonom barat, ekonomi merupakan suatu perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas (langka) dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian disalurkan (didistribusikan) komoditi tersebut kepada berbagai individu/personal dan kelompok yang ada dalam masyarakat.
Menurut Sulaiman (1985), ekomomi adalah sebagai ilmu yang menerangkan cara-cara menghasilkan, mengedarkan, membagi dan memakai barang dan jasa dalam masyarakat sehingga kebutuhan materi masyarakat dapat terpenui sebaik-baiknya.
Dalam perpektif Islam, an Nabhani (1986) memaparkan yang mengambil maka istilah ekonomi sebagai kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kepemilikan, pengembangan maupun distribusi.
Beberapa ahli telah banyak mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam. Tetapi pada dasarnya ekonomi Islam merupakan bagian dari suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara (ajaran-ajaran) yang Islami. Oleh karena itu, ekonomi Islam menitikberatkan segala aspek ontologinya pada ajaran agama Islam.
Dengan demikian, para ahli memberikan penegasan, bahwa ruang lingkup dari ekonomi Islam adalah masyarakat Muslim atau komunitas negara Muslim itu sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau negara muslim di mana nilai-nilai ajaran Islam dapat diaplikasikan. Dan menurut Yuliadi (2001), titik tekan ilmu ekonomi Islam adalah bagaimana Islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi
umat secara umum.
Menurut Anto (2003), yang meyampaikan definisi ekonomi Islam dari berbagai referensi, memaparkan:
1.      Ekonomi Islam didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonologis (Chapra, 1996; hlm. 33).
2.      Ekonomi Islam adalah suatu ilmu aplikasi petunjuk dan aturan syari’ah yang mencegah ketidakadilan dlam memperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat (Hasanuzzaman, 1984; hlm. 18).
3.      Ekonomi Islam memusatkan perhatian pada studi tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya di bumi atas dasar kerja sama dan partisipasi (Khan, 1994; hlm. 33).
Menurut an Nabhani, ekonomi adalah sebagai suatu kajian studi yang bersifat universal, artinya tidak terkait dengan sebuah ideologi tertentu. Karena ia dapat
dikembangkan dan diadopsi dari manapun selama tidak kontradiktif dengan system ekonomi yang diatur Islam. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian”, yang berarti boleh untuk
mengembangkan kemampuan produksi secara kualitas maupun kuantitas.
Ilmu ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pengambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan aturan syari’ah sebagai variabel independen (ikut
mempengaruhi segala pengambilan keputusan ekonomi). Dengan demikian, semua ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada bukan berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islami dan juga tidak berarti semuanya sesuai dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai dengan asumsi dan tidak bertentangan dengan hukum syari’ah, maka selama itu pula teori tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori ekonomi Islam.
Demikianlah, dalam satu arti, ilmu ekonomi Islam lebih terbatas dan dalam arti lain lebi luas daripada ilmu ekonomi modern. Terbatas, karena hanya mengenai orang-orang yang mempunyai keyakinan pada ke-Esa-an Allah dan ajaran-ajaran moral-Nya. Dalam suatu negara Islam, kegiatan-kegiatan yang tidak meningkatkan kesejahteraan manusia tidak dapat didorong (dibantu). Namun konsep kesejahteraan manusia itu tidak statis, melainkan selalu relatif pada suatu
keadaan yang berubah-ubah. Karena konsep kesejahteraan harus sejalan dengan
prinsip-prinsip universal-prinsip-prinsip yang akan tetap shahih sepanjang masa. Dikatakan luas, karena ilmu ekonomi Islam mengambil (meliputi) pengetahuan dari faktor-faktor non-ekonomi saja, seperti faktor politik, sosial, etik dan moral.
Demikianlah ruang lingkup ilmu ekonomi Islam yang tampaknya menjadi administrasi kekurangan sumber-sumber daya dalam masyarakat manusia dipandang dari konsepsi etik kesajahteraan dalam Islam. Oleh karea itu, ekonomi Islam tidak hanya mengenai sebab-sebab material kesejahteraan, tetapi juga mengenai hal-hal non-material yang tunduk kepada larangan Islam tentang konsumsi dan produksi.
Dalam Islam, baik konsumen maupun produsen bukanlah raja. Perilaku keduanya harus dituntun oleh kesejahteraan umum, individual dan sosial sebagaimana dipahami dalam syari’at.
B.       Tujuan Ekonomi Islam
Menurut Muhammad Baqir as Sadr dalam karya monumentalnya, Iqtishaduna, menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah sebuah ajaran atau doctrine, dan bukannya ilmu murni (science). Karena apa yang terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan sebuah solusi hidup yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan.
Dengan demikian, ekonomi Islam tidak hanya sekedar ilmu, tetapi lebih daripada itu, yaitu ekonomi Islam adalah sebuah sistem. Terdapat perbedaan antara ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi modern yang mencolok. Tetapi yang membuat ilmu ekonomi Islam benar-benar berbeda ialah system pertukaran dan transfer satu arah yang terpadu mempengaruhi alokasi kekurangan sumber-sumber daya, dengan demikian menjadikan proses pertukaran langsung relevan dengan kesejahteraan manyeluruh semua umat manusia.
Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan individu dianggap sebagai fungsi yang kian meningkat dari komoditi dan jasa yang menurut skala nilainya ingin dimilikinya, dan sebagai fungsi yang kian berkurang dari usaha pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Tetapi dalam ilmu ekonomi Islam, individu harus memperhitungkan perintah Kitab Suci al Qur’an dan as Sunnah dalam melaksanakan aktivitasnya. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat  dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan akan kembali keadaannya, serta tidak seorangpun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk di dalam kerangka al Qur’an dan as Sunnah.
Walaupun ilmu ekonomi Islam, seperti halnya ilmu ekonomi modern, tidak hanya mengenai aspek perilaku manusia yang berhubungan dengan cara mendapatkan uang dan membelanjakannya, namun sebagian besar ia merupakan aktivitas ekonomi kita. Bahkan 1400 tahun yang lalu, Islam telah mengusahakan keseimbangan yang langgeng antara pendapatan dan pembelanjaan guna mencapai sasaran keuntungan social yang maksimum. Islam selalu menekankan agar setiap orang mencari nafkah dengan (perbuatan-perbuatan) halal.
Oleh karena itu, telah ditetapkan atutan-aturan tertentu yang mengatur dan
menentukan bentuk dan intensitas kegiatan-kegiatan manusia dalam memperoleh
kekayaan. Hal ini begitu dibatasi sehingga serasi dengan kedamaian dan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu, pada tahap manapun
tidak ada kegiatan ekonomi yang bebas dari beban pertimbangan moral. Untuk
tujuan inilah dalam Kitab Suci al Qur’an dikatakan:
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (al Baqarah: 168)
Jadi, suatu negara Islam hanya dapat mendorong kegiatan-kegiatan yang sah (halal), yang sepenuhnya sejalan dengan kebijakan sosial. Karena itulah Islam sangat tidak menyetujui monopoli sumber daya oleh segelintir manusia kapitalis dan tekanannya selalu terletak pada pemanfataan sosial yang berguna. Dalam Kitab Suci al Qur’an dikatakan:
ª!$#ur üÏ%©!$# Ÿ@yör& yx»tƒÌh9$# 玍ÏWçFsù $\/$ptxž çm»oYø)Ý¡sù 4n<Î) 7$s#t/ ;MÍh¨B $uZ÷uômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB 4 y7Ï9ºxx. âqà±Y9$# ÇÒÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat, serta menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak merugi”.  (al Fathir: 9)
Dengan cara ini, Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkan uang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejateraan rakyat.
C.       Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1.         Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2.         Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3.         Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4.         Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5.         Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6.         Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7.         Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8.         Islam melarang riba dalam segala bentuk.

















BAB III
AKAD
A.       QS. Al-Maidah : 1
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
penjelasan
Allah dalam surat ini akan mulai menerangkan beberapa peraturan hidup yang wajib dilaksanakan. Hidup menaati peraturan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang lebih dahulu telah beriman. Sebab itu maka permulaan ayat ini ialah :”Wahai orang-orang yang beriman!” Sebab itu dapatlah kita perhatikan bahwaumumnya ayat-ayat yang dimulai dengan seruan : “Wahai sekalian manusia !” adalah umum sifatnya, menyeru manusia supaya manusia beriman kepada Allah, perintah mengerjakan sesuatu atau melarang, mengatur makanan yang halal atau yang haram, mengerjaan puasa, seruan berjihad dan lain-lain, di mulailah dia dengan seruan kepada orang-orang yang telah beriman. Setelah seruan yang demikian di mulai di pangkal surat ini, lalu dijatuhkanlah perintah yang pertama, yaitu “Sempurnakanlah ‘uqud!”. Sengaja kalimat ‘uqud itu tidak kita artikan, bahwa kita ambil saja dalam keseluruhannya, karena kalau sudah diterjemahkan, takut kalau-kalau kalimat terjemahan itu tidak menepati akan maksud ‘uqud.

            Memerhatikan semuanya itu, dapatlah kita memberi penilaian yang tinggi terhadap susunan dan mutu ayat-ayat Al-Qur’an yang mengagumkan para filsuf, seperti Al-Kindi. Diriwayatkan oleh Naqqasy, bahwa dia telah meminta kepada Al-Kindi supaya membuat satu karangan, sebuah gubahan yang sama tinggi mutunya dengan Al-qur’an. Sesudah beberapa hari permintaan itu disampaikan, kelurlah Al-Kindi dan ia berkata kepada orang banyak, “Wa Allahi, demi Allah! Saya tidak sanggup dan orang lain pun tidak akan sanggup. Aku mulai membuka mushaf, aku baca surat Al-Maidah, dalam dua baris saja telah berisi beberapa hokum, yang tidak seorangpun akan sanggup membuat seperti itu.

            Aufu bil ‘uqud”, (                  ) artinya, sempurnakan kalian aqad, tetapi segala janji! Perkataan “Uqud”  aedalah jamak dari “Aqad” , artinya, Simpul tali. Dalam ungkapan, “saya simpul tali ini” berarti, daya ikat janji ini dengan engkau. Menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Aqad” dimaksud dalam ayat ini adalah segala perjanjian Allah yang telah dijanjikannya, yang terdiri dari apa-apa yang diharamkan, dihalalkan, dan difardhukan, yakni segala hukum yang telah disebutkan dalam Al-Quran. Dia berkata, “ Jangan kamu tukar dan jagan kamu rusakkan semuanya itu!” menurtu zahir ayat ini, wajiblah menempati segala janji itu, perjanjian apapun bentuk coraknya, asala tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist Rasul. Sedangkan arti An’Amm ialah, lemah lembut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang disebut An’Am itu ialah segala hewan ternak  yang tidak termasuk binatang buruan. Karena itu segala binatang buruan sepeti rusa, kambing hutan, banteng dan sebagainya tidak di katakan An’Amm. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa “Bahimah Al-An’Am”, itu ialah janin yang masih dalam perut, yang mati karena disembelih ibunya, janih itu halah karena mengikuti sembilahgan ibunya.

            “kecuali binatang yang disebut kepadamu”  maksudnya, yang diharamkan kepadamu ialah binatang-binatang yang telah dan akan disebutkan kepadamu, selain dari itu halal. “tidak dihalalkan buruan sedang engkau dalam ihram”, artinya, bagi orang yang sedang melakukan ihram tidask halalkan semua binatang buruan baik sedang melakukan umrah atau ihram haji atau kedua-duanya. Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.


KESIMPULAN
Dari sudut pandang ilmu fiqih, kegiatan ekonomi bukanlah termasuk bab ibadah
mahdhah
, melainkan bab mu’amalat. Oleh karena itu, berlaku kaidah fiqih yang menyatakan bahwa: “Suatu perkara mu’amalah pada dasarnya dibolehkan untuk dijalankan, kecuali jika ada bukti larangan dari sumber agama” (al Qur’an dan as Sunnah)
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa para ekonom Islam yang bertekad untuk memulai dengan serius, kini telah dapat memperoleh pengertian luas tentang metode penelitian deduktif dan induktif dalam merumuskan teori dan kebijaksaan Islam. Karena, merupakan hal yang sahih untuk suatu teori Islam sarat nilai yang ideal dapat mempunyai dimensi waktu dan ruang. Hal ini diperlukan untuk menjelaskan tentang perilaku lembaga dan organisasi ekonomik di masa lampau, sekarang dan membayangkannya untuk masa yang akan datang.
Tetapi hal ini harus dipahami dalam kerangka abadi yang lebih luas dari
prinsip-prinsip al Qur’an dan as Sunnah. Walaupun ekonomi Islam adalah bagian
dari ‘sistem’, tetapi ia juga merupakan suatu ilmu. Perbedaan antara ekonomi
positif dan normatif tidak diperlukan, juga tidak diinginkan; dalam hal-hal
tertentu malah akan menyesatkan.
Namun hal yang harus dicatat, bahwa metode penelitian dapat berupa deduktif, induktif, atau kombinasi dari keduanya.metode deduktif, sebagaimana yang dikembangkan oeh para ahli hukum Islam, dapat diterapkan pada ekonomi Islam dalam mendeduksikan prinsip sistem Islam itu dari sumber-sumber hukum Islam (al Qur’an, dan as Sunnah). Metode induktif dapat pula digunakan untuk mendapatkan penyelesaian dari problema ekonomik dengan menunjuk pada keputusan historik yang shahih.

REFERENSI

A. Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, edisi ketiga.
Mannan, M. A, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, seri Ekonomi Islam No. 02, edisi LISENSI.
Sholahuddin, M., Asas-asas Ekonomi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007, edisi satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar