3. Letakkan kode berikut di bawah kode

(lihat gambar 3)

INI YANG ANDA CARI?

Sabtu, 09 April 2011

Hukum islam pada periode taqlid


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Periode taqlid adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.
Periode taqlid mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya. Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dalam Pandangan Politik
Periode taklid tejadi sejak runtuhnya Baghdad ditangan Holako sampai sekarang. Unsur Turki atau Thurani adalah suatu unsur yang besar sekali yang terdiri dari beberapa kabilah yang berbeda-beda, setelah menyiapkan sarana-sarana berkelana ia jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya sebagai tambahan atas negeri asalnya.
1.       Pada periode pertama dimana Allah mewahyukan syari’at-Nya dihati Rasullullah SAW yaitu sesuatu yang diturunkan oleh Allah lalu beliau terangkan pada manusia.
2.       Pada periode kedua dan tiga para sahabat dan tabi’in menerangkan metode-metode dari Kitabullah, Sunnah RasulNya dan ra’yu (pendapat) yang benar.
3.       Pada periode keempat, para imam-imam besar dan fuqaha-fuqaha yang cerdik berusaha keras lalu mereka memetik buahnya yang membukukan hukum-hukum syari’at secara terperinci.
4.       Pada periode kelima mereka membuat urutan-urutan, membersihkan, memilih dan mengunggulkan. Sebesar-besar keistimewaan periode ini adalah menetapnya ruh taklid semata-mata pada jiwa ulama, dan hanya sedikit saja dari kalangan mereka yang sampai ke derajat ijtihad. Demikian itu pada sebagian pertama dari periode ini, yaitu di masa Kairo menempati kedudukan Baghdad dan menjadi pusat kerajaan Islam dan khilafah Abbasiyah. Pada masa ini muncullah dari waktu ke waktu orang yang sampai ke tingkat ijtihad. Namun mereka berhenti membangsakan diri kepada para imam yang terkenal.
Adapun pada sebagian yang kedua yaitu dari abad ke sepuluh sampai sekarang keadaannya telah berganti dan tanda-tanda telah berubah dan diumumkan bahwasannya tidak boleh bagi seorang fakih unuk memilih dan mentarjih karena zamannya telah lalu serta terhalang antara orang-orang dan kitab-kitab orang-orang yang terdaulu. Dan mereka mencukupkan diri pada kitab-kitab yang ada di hadapan mereka.
Seperti pada situasi Mesir sebelum kerajaannya jatuh dan khilafah pindah dari padanya. Kita jumpai nama-nama Al’Izz bin Abdus Salam, Ibnul Hajib, Ibnu Daqiqil ‘Id, Ibnu Rif’ah, Ibnu Taimiyah, As Subki dan puteranya, Ibnul Qayyim, Al Bulqini, Al Asnawi, Kamal bin Hammam dan Jalalluddin As Sayuthi. Mereka itu orang-orang pandai dari madzhab empat. Kemudian kita kembali menengok kepada masa sesudah itu maka kita tidak mendengar nama seorang alim atau faqih besar, atau atau pengarang yang baik, namun kita jumpai suatu kaum yang tinggal menerima saja dalam fiqih seolah-seolah jatuhnya bidang politik adalah kemunduran ilmu, lebih-lebih ilmu agama yang mundur sedemikian jauh. Ketika Mesir menuntut kembalinya kemuliaan maka terbentur beberapa penghalang, yaitu:
1.       Terputusnya hubungan antara ulama-ulama negara besar Islam.
2.       Terputusnya hubungan antara kita dan kitab-kitab para imam.


B.     Sebab-Sebab Terjadinya Gerakan Ijtihad
Persoalan utama dalam membahas perkembangan ijtihad adalah semenjak kapan ijtihad itu mulai ada (berlaku), apakah pada masa kini ini masih berlaku dan bagaimana kemungkinan berlakunya  untuk masa mendatang.
Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad tentunya kita akan menoleh ke masa paling dini dari keberadaan hukum islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah  ijtihad telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini karena secara umum diketahui bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu tidak menemukan petunjuk Allah secara jelas tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi, sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash sudah tidak ada lagi, karena ayat Al-Quran masih turun dan Nabi masih dapat menyampaikan petunjuknya. Tetapi disisi lain, dalam banyak kasus banyak ditemukan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah seringmenggunakan daya nalarnya sebagainaman yang lazim dilakukan seorang mujtahid dalam menghadapi masalah hukum. Oleh karena itu keberadaan ijtihad pada masa Nabi masih menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Ada 4 faktor penting yang menyebabkan terhentinya gerakan ijtihad dan suburnya kebiasaan bertaqlid kepada para imam terdahulu, yaitu:
1.      Terpecah-pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam beberapa kerajaan yang antara satu dengan yang lainnya saling bermusuhan, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaan dalam rangka meraih kemenangan dan kekuasaan.
2.      Pada pariode ketiga para imam Mujtahid terpolarisasi dalam beberapa golongan. Masing-masing golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah tersendiri pula. Misalnya ada kalanya dalam rangka membela dan memperkuat mazhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi yang melegitimasi kebenaran mazhabnya masing-masing mengedepankan kekeliruan mazhab lain yang dinilai bertentangan dengan mazhabnya.
3.      Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan, sementara di sisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
4.      Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka sehingga tidak bisa sampai pada level orang-orang yang melakukan ijtihad. Di kalangan mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri.

C.    Langkah  Ulama Dalam Pembentukan Hukum
Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H) yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid.
Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu hukum-hukum yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil dari orang-orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan Maghribi. Para fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Mulai saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan pada cara yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan bentuk yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam kehidupan umat.
Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-pendapat imam. Dan pada masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab. Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu masalah
Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah-masalahnya yang baru, menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam2 mereka dan mentarjihkan menguatkan suatu pendapat dari pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Faktor-faktor yang telah kita ungkapkan di atas yang menyebabkan ulama berhenti untuk berijtihad mutlak dan mengambil hukum-hukum syariat dari sumber-sumber utamanya, tidak bisa membuat mereka berhenti pula untuk mengerahkan tenaga mereka dalam melakukan legislasi di dalam rena mereka sendiri (madhab yang mereka anut sendiri).[1]
Dengn ini, maka ulama dikalangan setiap madzhab itu dibagi-bagi atas beberapa tingkatan :
1.      Tingkatan pertama : Ahlul ijtihad fil madzhab
Golongan ini berijtihad dalam menghadapi kejadian-kejadian baru dengan berpegang kepada pendapat-pendapat yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid mutlak. Mereka ini terdiri dari ashab, pengikut para imam. Dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat imam dalam sesuatu furu’ dalam pada itu mereka tidak keluar dari dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh imamnya.
Termasuk dalam tingktani ini :
a.       Al Hasan ibn Zaiyad, dari madzhab Hanafi
b.      Ibnul Qasim dan ashabnya, dari madzhab Maliki
c.       Al Muzani dan al Buwaithi, dari madzhab Syafi’i
d.      Al Atsram dan al Mawarzi, dari madzhab Hanbali
Beliau-beliau ini mempunyai kemampuan dan kesanggupan dalam mengistimbathkan hukum dari sumber pertama, akan tetapi mereka beristimbath sesuai dengan istimbath imam-imam mereka. Ada yang mengatakan, bahwa Muhammad ibn Hasan, Abu Yusuf dan Zufar adalah mujtahid mutlak, hanya saja mereka mencampurkan madzhab mereka dengan madzhab Abu Hanifah, yang menjadi gurunya. Sebenarnya Mereka sama tingkatannya dengan Asy Syafi’i, sebagai mujtahid mutlak.
2.      Tingkat kedua : Ahlul ijtihad fil masail
Golongan ini berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak diijtihadkan oleh imam, dengan berpedoman kepada dasar-dasar tasyri’ atau istimbath yang dipegangi oleh imam. Golongan ini seperti Al Khashaf, Ath Thahawi dan Al Karakhi dari golngan Hanafiyah, Ibnul Arabi dan Ibnu Rusydi dari golongan Malikiyah, Al Ghazali dan Al Isfarayini dari golongan Syafi’iyah dan Al Baghdadi dan Al Hurawi dari golongan Hanbaliyah.
3.      Tingkat ketiga : Ahlut tarjih
Golongan ini hanya membandingkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari imam, lalu mentarjihkan salah satunya, baik dari segi riwayat ataupun dari segi dirayat. Umpamanya mereka berkata : “ ini lebih shahih riwayatnya, lafadz ini lebih utama kita menerimanya. Riwayat ini lebih kuat , atau lebih aula, atau lebih sesuai dengan qiyas atau lebih memenuhi kemaslahatan masyarakat”. Di antara golongan ini yaitu Al Qaduri dari golongan Hanafiyah.
4.      Tingkat keempat : ahlu takhrij
Golongan ini tidak berijtihad dalam mengistimbathkan hukum. Mereka hanya membatasi diri dalam menafsirkan pendapat yang kurang jelas. Mereka menentukan mana yang dikehendaki dari hukum yang mempuyai dua pengertian. Golongan ini seperti Al Jashash dari golongan Hanafiyah, Khalil dari golongan Malikiyah, An Nawawi dari golongan Syafi’iyah dan Ibnu Qudamah dari golongan Hanbaliyah.
5.      Tingkat kelima: ahlu taqlid
Golongan ini mempunyai kesanggupan membedakan riwayat yang nadir dengan yang lahir, antara yang kuat dengan yang lemah, mereka ini ialah orang-orang yang menyusun kitab-kitab matan, yang memasukkan pendapat-pendapat yang diterimanya saja kedalam masalah-masalahnya.[2] Mereka yang termasuk dalam tingkat ini antara lain ialah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan madzhab Abu Hanifah, seperti pengarang kitab al Kanz dan al-Wiqyah.



















BAB III
KESIMPULAN

Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya. Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, tertutupnya ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa mahzabnya yang paling benar. Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.





DAFTAR PUSTAKA

Hasbi, Muhammad ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, (Jakarta : PT Bulan Bintang), 1993, cet 8
Sjinqithy, A djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al Ikhlas ), 1994, cet 1
Wahab, Abdul Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam,terj. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)


.


[1] A. Sjinqithy djamaludin, Sejarah Legislasi Islam, (Surabaya : Al Ikhlas), hal 133, 1994, cet 1
[2] Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, ( Jakarta : PT Bulan Bintang ), 1993, cet 8 hal 86

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. thanks
    mampir ya di
    sins-na.blogspot.com

    BalasHapus
  4. trimakasih banyak atas ilmu yang sudah disharenya mba :)

    BalasHapus